Sejarah, selalu dituliskan oleh sang
pemenang. Tapi bukan berarti mampu menghanguskan sejarah berdasarkan
versi lain kendati berupaya menguburkannya hidup-hidup. Pada konteks
inilah, kebenaran berhubungan dengan pembenaran-pembenaran. Oleh
karenanya, kebenaran memang bersifat relatif, tergantung siapa yang
berkuasa untuk membuat dan menafsirkannya.
Sejarah bisa berubah? Tentu saja. Bila
sang pemenang berganti, maka sejarah akan dibangun kembali untuk
menunjukkan heroisme dari perjuangan sang pemenang!
Tentulah kuyakin, engkau pasti masih
mengingat dengan jelas pelajaran sejarah. Tertorehkan dalam buku
pelajaran, tersuarakan dalam kisah para guru, atau tersaksikan dalam
berbagai pertunjukan drama di atas panggung atau tersaksikan dalam drama
di layar kaca maupun layar lebar, tentang perjuangan bangsa ini.
Ya, perjuangan bangsa. Perjuangan atas
penjajahan yang berlangsung selama tiga ratus lima puluh tahun. Namun,
kini terkoreksi bahwa tidak selama itu bangsa Indonesia terjajah.Selama
itu, adalah penaklukan atas kekuasaan para raja, sedang bangsa terus
bergejolak dalam semangat perjuangan.
Nah, kuyakin, engkau tak asing dengan
para tokoh yang memainkan diri sebagai penjajah sering menyatakan. ”Hm..
para ekstrimis-ekstrimis…” sambil mengangkat satu kaki yang dijejakkan
pada sebuah kursi.
Kita sangat terkagum, dengan para tokoh-tokoh pemberani, yang mempertaruhkan nyawanya untuk melakukan boikot-boikot, perusakan-perusakan, bahkan teror-teror kepada para penjajah. Dengan keterbatasan persenjataan, maka strategi untuk mengendap, menyergap dan menyerang, lalu menghilang, menjadi strategi yang digunakan. Bergerilya. Dukungan rakyat menjadi penentu utamanya.
Mereka, tokoh-tokoh pemberani, adalah
pahlawan-pahlawan kita yang oleh para penjajah disebut sebagai
ekstrimis, sebagai pemberontak, sebagai pengkhianat. Dan kita tentunya
juga ingat, dalam setiap perjuangan, selalu ada mata-mata dari dalam,
menjadi pengkhianat.
Ah, apakah engkau salah satunya, yang
terkagum dengan kisah perjuangan? Lantas berobsesi ingin turut berjuang,
menjadi pahlawan, dan menginginkan ada kesempatan berperang?
Bila saat ini ditanyakan ulang, kuyakin
sebagian besar dari kita sekarang, akan menyatakan membenci perang.
Perang yang akan melahirkan luka mendalam di hati setiap orang, tentang
kehilangan nyawa para saudara, dalam perang terbuka atau bahkan dalam
peristiwa yang bisa disebut sebagai pembantaian. Pihak yang kalah dan
sang pemenang, sama-sama akan merugi. Tapi, mengapakah sampai sekarang
ada yang masih mempertahankan perang sebagai jalan keluar dari
persoalan?
Berbahagialah kita, sebagai bangsa yang
pada saat ini menikmati kehidupan damai, tanpa perang, tanpa ancaman
kehilangan nyawa dari senjata yang terhunus dan menikam tiba-tiba. Walau
masih lekat pula sejarah kelam sebagai bangsa akan pertarungan sesama
saudara, tentang ratusan ribu nyawa yang dihilangkan, dan jutaan orang
yang dirampas kemerdekaan dan kehidupannya, yang pada saat ini, sejarah
peristiwa dipertanyakan, dan beragam versi menyelimuti kehidupan kita.
Berbahagialah kita, sebagai bangsa yang
pada saat ini menikmati kehidupan damai, walau masih lekat pula dalam
kepala, tentang kedamaian semu yang pernah dilalui, dari cengkraman
penguasa yang telah berhasil menanamkan kesadaran semu dan memunculkan
ketakutan sejak dari kepala untuk berpikir di luar sesuatu yang tengah
berlangsung. Kesadaran kritis yang dibangkitkan dalam pergerakan kaum
muda, bertahun-tahun, lalu menggelora hingga menjadi gerakan yang
melibatkan puluhan juta bangsa ini, setidaknya berhasil menumbangkan
simbol dari watak kekuasaan, kendati, hingga hari ini, disadari pula,
sistem dan para pemain, masih saja bercokol dalam kekuasaan-kekuasaan
yang nyata di hadapan kita.
Berbagialah kita, sebagai bangsa yang
menikmati kehidupan hingga saat ini, tanpa beban ketakutan, ruang
berekspresi dan berorganisasi yang terbuka lebar, hanya jangan sampai
terbutakan.
Hidup adalah perjuangan yang tak pernah
selesai hingga nafas kita benar-benar terhenti. Perjuangan atas suatu
perubahan yang lebih baik, tentulah menjadi damba bagi semua. Warna
rambut boleh sama, siapa yang tahu isi kepala?
Maka, memang perang tak terhindarkan.
Walau bukan berarti perang dengan senjata yang menghujam untuk melukai
atau membunuh secara tiba-tiba. Perang jaman ini adalah perang bermain
dengan angka-angka. Meraih kemenangan apabila keputusan sesuai dengan
apa yang menjadi rencana. Kekuasaan menjadi salah satu sarana.
Persoalannya, untuk apa dan siapa? Demi bangsa dan negara?
Kekuasaan, di manapun, bisa membuat buta.
Maka, berpijak pada konstitusi, kesepakatan tentang arah atau tujuan
bangsa dan negara ini akan di bawa, bisa menjadi rambu-rambunya. Engkau,
pastilah boleh terlibat di dalamnya.
Menjadi pemberontak atau pahlawan, yang
pasti, keberanian selalu menyertai segala pikiran dan tindakannya. Soal
dianggap sebagai pemberontak atau pahlawan, sejarah pastilah yang akan
mencatatnya, dengan catatan posisi bisa berubah, tergantung engkau di
pihak mana. Bukankah begitu?
Ocehan kala sore, di Yogyakarta, 6 April 2012
Nang Copast Tina : http://odishalahuddin.wordpress.com/2012/04/08/menjadi-pemberontak-atau-pahlawan-sama-saja/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar